Monday, August 1, 2011

Cerpen: Aku, Hujan, dan Sahabatku

Aku, Hujan, dan Sahabatku

by Gangsar Ayu Ardiningrum



Awan hitam berarak-arak menutupi mentari pagi. Angkasa kelabu mulai menitikkan air mata. Gerimis perlahan-lahan membasahi bumi. Semakin deras. Membuat lalu-lalang terhenti, orang-orang berlarian untuk berteduh.

Sesosok gadis berseragam putih biru berlari di tengah derasnya hujan. Sama sekali tak berminat untuk berteduh. Rinai hujan basahi rambut hitam kucir kudanya. Wajahnya yang putih diterpa butiran - butiran air langit. Matanya perih oleh derasnya air hujan.

Brukk!! “Aduh!! Kenapa pakai acara jatoh segala sih aku.” Tiba-tiba jalanan yang licin membuatnya jatuh tersungkur. “Untung ga diliat orang. Bisa maluuu nih. Hihi.”

Akhirnya, ia berhenti di sebuah halte bus. Melirik jam tangannya. Pukul 06.40, 5 menit lagi harus sampai di sekolah. Di kejar waktu, segera ia menghentikan sebuah bus dan berpartisipasi di dalam keramaiannya. Tak perduli seragamnya yang basah, asalkan tepat waktu di sekolah. Hari ini ada pelajaran Matematika jam ke-0, dan dia tidak ingin menambah kesialannya pagi ini. Sudah lelah, basah kuyup, jatuh tersungkur, dan entah apa lagi. Kenapa di saat hujan turun, ada saja yang dia alami.

Dira berlari kecil menuju ruang kelas dengan tas tersampir di lengannya. Saat itu hujan mulai terang. Hanya gerimis kecil.
“Dira!!” seseorang menghentikan langakahnya. Ia menoleh ke empu-nya suara.
“Eh, Bells. Kok lari-lari gituh? Basah lagi, abis hujan-hujanan ya?” Sapanya sejenak lupa bahwa dia juga tengah terburu-buru.
“Iya nih. Tadi hujan-hujanan habisnya takut telat masuk pelajaran ke-0.” Jawab Bella sambil mengatur nafas.
“Ooooh gitu.” Jawab Dira singkat.
“Lah kamu tadi juga lari-lari kenapa?” Tanya Bella heran dengan teman sekelasnya itu.
“Sama!!” Balas Dira setengah berteriak, mulai sadar. “Ah kamu nih, bikin aku lupa! Udah siang nih, keburu masuk. Ayok cepetan!!” Dira berlari dan menarik tangan Bella.

Mereka memasuki ruang kelas 9E dengan hati-hati. Beruntung Bu Siska, guru matematika mereka agak terlambat datang. Dira dan Bella menghela nafas lega. Satu detik saja mereka kurang cepat, maka Bu Siska sudah mendahului mereka sampai di kelas. Pelajaran pun di mulai seperti biasanya. Namun, ada kejanggalan yang luput dari perhatian Bella.


Kriiingg!!
Bel istirahat berbunyi. Murid-murid siap untuk mengobrak-abrik kantin dengan uang mereka. Wajah lapar, senandung music keroncongan dari perut-perut lapar, dan wajah lesu mulai lenyap. Tergantikan oleh gairah dan nafsu untuk menyerang setiap kantin. Hiaah!!
“Niss, kantin yuk!” Ajak Bella pada Annissa.
“Enggak ah.” Jawab Nissa malas.
“Let’s go friends!” Dira ikutan nimbrung. “Ayolah Niss, aku tahu kok. Kamu udah laper kan? Yuk cari yang ceess segeerr! Hihi”
“Enggak ah. Males.” Nissa masih sama sekali tidak berminat.
“Oke deh. Yuk Bells!” Akhirnya Bella dan Dira meninggalkan Annissa yang terpaku dalam ekspresi yang tak dapat dimengerti.


“Kenapa tuh Anak, Bells?” Tanya Dira saat mereka sedang menyantap soto di kantin.
“Hah? Siapa maksud kamu?” Jawab Bella agak kaget.
“Ya Nissa lah, siapa lagi.” Dira menyuap sesendok nasi sotonya.
“Ahh.. enggak tahu juga aku. Dia kan ‘ababil’—alias ABG labil.” Bella sedikit cuek namun juga penasaran dengan sahabatnya itu. Tapi mereka akhirnya tertawa juga.

Selesai makan mereka kembali ke kelas. Dalam perjalanan ke kelas Bella melihat Annissa kembali dari kantin bersama Lisha. Bella hanya diam melihatnya. Nissa kenapa sih? Batinnya.


Pelajaran dimulai kembali. Seperti biasa. Namun, Bella mulai sadar ada kejanggalan. Ia pun berencana untuk memastikannya setelah pulang sekolah. Konsentrasi. Bella menarik nafas panjang dan kembali menekuri materi pelajarannya.
Tidak begitu dengan Annissa. Otaknya tak bisa konsentrasi pada pelajaran. Raganya ada di dalam kelas, mengikuti pelajaran hari itu. Namun pikirannya melayang entah kemana, bermain-main di angkasa. Kosong. Itu yang ada dalam dirinya saat ini.


Sepulang sekolah Dira dan Annissa ngobrol di dekat gerbang sekolah.
“Pulang bareng yuk! Mampir ke warung Empek-empek Palembang dulu. Laper nih!” ajak Dira sepulang sekolah.
“Ah kamu mah yang dipikirin perut terus!” Annissa menanggapi sambil mencubit perut Dira.
Mereka bercanda seperti biasa. Sampai tiba-tiba Bella datang. Dan Annissa menjadi diam seribu bahasa.
“Alohaaa semua! Kapan pulang nih? Mau nginep yak?” Bella menghampiri mereka dan bergabung.
Bella memasang tampang melas dan sok imut. “Eh Nissa, diem aja nih dari tadi.” Godanya. Sebenarnya untuk memastikan ada apa dengan temannya yang satu ini.
“Udah ah. Aku pulang dulu!” Nissa ngeloyor pulang tanpa menoleh.
Bella menatap Dira dengan ekspresi menanyakan kenapa dia? Aku salah ngomong ya? Dira mengangkat bahu tanda tidak tahu apa-apa.
“Kamu kenapa siih, Niss?” Tanya Bella sedikit berteriak. “Aku salah apa sama kamu? Aku datang kamu langsung diam. Kamu kenapa?”
“Cukup!! Kamu tuh apa-apaan sih bentak-bentak aku!!” Balas Annissa tak mau kalah.
“Kamu tuh kenapa sih? Kalau aku emang punya salah, ngomong dong. Biar aku tahu kesalahanku! Aku sudah lama temenan sama kamu. Nggak usah bohong.” Pembicaran semakin panas. Beruntung keadaan sekolah sudah sepi.
“Udah dong. Bicaranya baik-baik aja kan bisa.” Dira mencoba melerai. Sebenarnya dia sendiri juga bingung harus bagaimana.
“Kalau kamu emang ngerti aku, seharusnya kamu juga mengerti kenapa aku kayak gini! Annissa mengakhiri perdebatan. Pergi meninggalkan Dira dan Bella tanpa menoleh. Karena sebenarnya air mata telah membanjiri pipinya.
Bella terduduk lemas di sebuah bangku. Dia tak percaya apa yang sudah didengarnya. Tak mengerti apa yang ada dipikiran Annissa. Apa salahnya sebenarnya sehingga Annissa sampai seperti itu.
“Udahlah. Mungki dia sedang ada masalah.” Dira mencoba menenangkan. Bella tidak menjawab, “Udah, pulang aja yuuk!” Ajaknya sambil menggandeng tangan Bella yang lemas.

Callista Bella Anggraini dan Annissa Fadisha Shimaisya. Sudah sejak kecil mereka bersahabat. Susah senang mereka selalu bersama. Saling mengerti. Menyelesaikan masalah bersama-sama. Namun kali ini, Annissa memilih untuk diam dan tidak bicara tentang masalahnya. Itu membuat Bella tidak mengerti dengan sikap sahabatnya itu.
Dengan ragu-ragu Bella menuruti ajakan Dira. Pulang dengan banyak pertanyaan di kepalanya. Aku salah apa ya? Apa Nissa lagi banyak pikiran kalik ya? Tapi baru kali ini aku lihat di seperti ini padaku. Sebenarnya ada apa?


Deng!! Jam berdentang 12 kali. Pukul 00.00.
Tengah malam yang dingin. Terdengar suara halilintar dan kilatan, menghiasi malam yang mencekam. Hujan turun begitu deras menemani Bella yang tak dapat tidur. Yang ada di benaknya hanya kejadian siang tadi. Saat dia bicara dengan Annissa. Dia masih tak bisa mengerti masalah yang sedang ia hadapi. Ia mengambil buku hariannya dan menulis sesuatu.


Detik demi detik
Waktu terus bergulir
Dalam pedih yang menyiksa
Menyisakan sebuah Tanya

Kutatap ngkasa seribu bintang
Berharap ia berdendang
Alunkan lagu sendu
Sampaikan rinduku padamu

Kawan, apa salah hingga kau jauh
Maafkan aku yang salah
Tapi di sini, aku tetap untukmu



Bella menutup buku hariannya. Sebelum terlelap dia berharap semua akan baik-baik saja. Maafkan kesalahanku, kawan. Kembalilah seperti dulu. Aku sangat merindukanmu. Aku rindu saat kita bersama menikmati dinginnya hujan. Apakah saat ini kau berpikir sama denganku? Dan Bella pun terlelap dalam dinginnya malam dan gemuruh hujan yang selalu menemaninya.


Di tempat lain hal yang hampir sama dilakukan oleh sesosok gadis lain. Dia duduk di tempat tidurnya. Dengan sebuah buku kecil di pangkuannya dan sebuah pulpen. Tertulis sesuatu dalam lembarannya.


Di sini ku diam dalam malam mencekam
Menatap langit hitam
Meruntun kisah kelam
Dalam simfoni hitam

Disini aku kesepian
Tak berteman, mereka ku tinggalkan
Dengan hujan ku berkawan



Annissa menutup bukunya. Merebahkan tubuhnya dengan buku itu di pelukannya. Terbentuk aliran kecil di pipinya. Semakin deras. Ia menangis dalam diamnya. Dia tak pernah ingin meninggalkan sahabat-sahabatnya. Namun apa daya, keadaan memaksanya. Tak ada yang tahu betapa sedih hatinya. Betapa kecewanya dia pada keadaan. Tak pernah ada yang tahu. Dia menyimpan semua sendirian. hanya hujan menjadi saksi malam ini. Saksi antara persahabatan mereka.